Baju adat palembang (Nandoenk (Kitogalo,com)

Kitogalo.com, Palembang – Bebaso Palembang yang merupakan bahasa ibu asli daerah Palembang, seakan diambang kepunahan. Nyaris tidak ada lagi yang menggunakan bahasa ibu ini, membuat bebaso menjadi bahasa asing di daerahnya sendiri.

Budayawan Palembang Ali Hanafiah pun mengakuinya. Warga yang menggunakan Bebaso Palembang, sangat sulit ditemukan. Meskipun ada, mungkin hanya segelintir orang yang sudah berumur, yang dari keluarganya sudah terbiasa menggunakan Bebaso Palembang.

“Mudah-mudahan tidak (punah), saya berharap demikian. Namun memang, hanya beberapa keluarga saja yang masih menggunakan Bebaso Palembang. Di keluarga saya pun masih menggunakan Bebaso Palembang ini,” ujarnya, Selasa (25/2/2020).

Bebaso Palembang sendiri berawal dari kebiasaan kaum bangsawan di Kerajaan Palembang Darussalam di abad ke 16. Bahasa ibu ini memang identik digunakan untuk trah ningrat, seperti saat berkomunikasi dengan kalangan kesultanan Palembang Darussalam.

Namun Bebaso Palembang juga digunakan sebagai bahasa santun dan halus, jika sedang berkomunikasi dengan orangtua, guru, orang yang dituakan atau dengan sebaya.

Mang Amin, sapaan akrabnya, menguasai Bebaso Palembang dari kebiasaan keluarganya. Sejak kecil, dia belajar dari orangtuanya, untuk bisa fasih berbahasa ibu ini.

“Semasa ayah saya hidup, kami selalu berkomunikasi menggunakan Bebaso Palembang, bahkan ke kakek saya juga. Itu sekitar tahun 1970-an, memang sekarang sudah terkikis,” ucapnya.

Selain warga asli Palembang, bahasa ibu ini juga dikuasai oleh para pendatang di masa lalu. Penggunaan Bebaso Palembang dilakukan, untuk menghargai warga asli Palembang dan memudahkan berkomunikasi di masanya.

Budayawan Palembang Ali Hanafiah

Bebaso Palembang juga kerap digunakan saat perhelatan pernikahan warga Palembang. Namun, tradisi ini juga tidak bertahan lama dan hanya beberapa keluarga saja yang masih meneruskannya.

Bahasa ibu yang di ambang kepunahan ini, terkikis oleh penggunaan Bahasa Melayu Palembang, yang digunakan warga Palembang dalam kesehariannya.

“Kalau Bahasa Melayu Palembang yang digunakan sekarang, di masa lalu hanya digunakan untuk kalangan rakyat biasa saja. Namun jika rakyat biasa berkomunikasi dengan orang kerajaan, tetap harus menggunakan Bebaso Palembang,

Munculnya Bahasa Melayu Palembang ini, diperkirakan berbarengan dengan Bebaso Palembang di Abad ke-16.

Pria berusia 60 tahun ini mengungkapkan, ada beberapa komunitas yang berusaha melestarikan Bebaso Palembang, seperti Komunitas Pesona Sriwijaya. Namun diakuinya, tidak mudah untuk mempelajari kosakata Bebaso Palembang. Salah satunya yaitu, perbedaan dalam pengucapan dengan tulisan.

Seperti kata Jero, yang punya dua artian. Ada yang melafadzannya menggunakan huruf o lembut, ada yang memakai o tegas. Artinya pun berbeda.

“Kata jero, jika diucapkan dengan huruf o lembut, artinya di dalam. Apabila diucapkan dengan huruf o yang agak lantang, artinya tobat. Itu makanya Bebaso Palembang harus disosialisasikan dulu,” katanya.

Bebaso Palembang juga bisa digunakan sebagai kalimat penyampai, jika ada maksud yang ingin diutarakan. Biasanya, komunikasi dengan Bebaso Palembang, keinginannya akan lebih dipermudah.

Agar bahasa ibu tidak punah, dia berharap Pemerintah Kota (Pemkot) Palembang membuat aturan penggunaan Bebaso Palembang di hari tertentu.

Seperti hanya yang dilakukan Pemkot Palembang yang membuat aturan untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk menggunakan baju daerah Palembang setiap hari Kamis.

“Kalau bisa satu hari ditetapkan sebagai hari Bebaso Palembang. Tentunya harus didorong dengan payung hukum seperti Peraturan Wali Kota (Perwali),” ujarnya.

Dia pun bersedia jika diminta Pemkot Palembang untuk mempromosikan Bebaso Palembang, baik di lingkungan PNS, komunitas atau pun ke masyarakat umum.

Beberapa kalimat Bebaso Palembang yang sering digunakannya yaitu, Dari Pundi? (Dari Mana?), Dari Rombok Cek Nini (dari rumah Cek Nini), Napi Kabar? (apa kabar?), Penet (sehat/baik). Sampun lambat kito kepangge (sudah lama tidak ketemu).

Editor : Nefryu