AJI Palembang menggelar diskusi publik penolakan remisi Presiden Joko Widodo untuk pembunuh jurnalis (Sumber : Humas AJI Palembang)

Kitogalo.com, Palembang – Adanya rencana pemberian remisi dari Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) kepada I Nyoman Susrama, terpidana seumur hidup perkara pembunuhan berencana terhadap jurnalis Radar Bali, Anak Agung Prabangsa dikecam oleh Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), terutama AJI Palembang.

AJI Palembang mendesak Presiden Jokowi mencabut remisi tersebut. Hal ini terungkap dalam Diskusi Publik bertema ‘Remisi Pembunuh Jurnalis?’ yang digelar AJI Palembang bersama praktisi hukum dan para jurnalis di Palembang, Jumat (25/1/2019).

Praktisi Hukum dari Universitas IBA Palembang, Kartika Lestari selaku pembicara diskusi menyebutkan, remisi terhadap 115 terpidana hukuman seumur hidup merupakan angka tertinggi yang pernah ada.

Menurutnya, remisi dikeluarkan melalui Keppres cukup mengejutkan. Karena landasan  aturan remisi berasal dari Keppres Nomor 174/1999 dimana Keppres memperkuat keputusan menteri.

“Saya paham, ini yang menjadi kekhawatiran ke depan karena ini bukan kejahatan biasa. Keppres bisa digugat melalui lembaga seperti AJI,”ujar Kartika, saat ditulis Kitogalo.com, Senin (28/1/2019).

Koordinator Bidang Advokasi AJI Palembang, Tasmalinda mengatakan, AJI menilai pemberian remisi sebagai langkah mundur terhadap penegakan kemerdekaan pers.

Padahal, pengungkapan kasus pembunuhan wartawan di Bali tahun 2010 saat itu menjadi tonggak penegakan kemerdekaan pers di Indonesia.

Karena sebelumnya tidak ada kasus kekerasan terhadap jurnalis yang diungkap secara tuntas di sejumlah daerah di Indonesia, apalagi dihukum berat.

“AJI se-Indonesia mengecam remisi pembunuh jurnalis. Kita tolak apa yang dikeluarkan presiden memberikan remisi ini dan mendesak untuk dicabut,”tegasnya.

Berdasarkan data AJI, kasus Prabangsa adalah satu dari banyak kasus pembunuhan jurnalis di Indonesia. Kasus Prabangsa adalah satu dari sedikit kasus yang sudah diusut.

Sementara, delapan kasus lainnya belum tersentuh hukum, diantaranya kasus itu,  Fuad M Syarifuddin (Udin), wartawan Harian Bernas Yogya (1996), pembunuhan Herliyanto, wartawan lepas harian Radar Surabaya (2006), kematian Ardiansyah Matrais, wartawan Tabloid Jubi dan Merauke TV (2010), dan kasus pembunuhan Alfrets Mirulewan, wartawan Tabloid Mingguan Pelangi di Pulau Kisar, Maluku Barat Daya (2010).

Untuk kasus Prabangsa ini, lanjut Tasmalinda, bisa diproses hukum dan pelakunya divonis penjara. Dalam sidang Pengadilan Negeri Denpasar 2010, hakim menghukum Susrama dengan divonis penjara seumur hidup.

AJI Palembang menggelar diskusi publik penolakan remisi Presiden Joko Widodo untuk pembunuh jurnalis (Sumber : Humas AJI Palembang)

“Ini menjadi sinyal keamanan untuk jurnalis lainnya. Ancaman kekerasan dan kejahatan terhadap jurnalis akan selalu ada, berserikat salah satu upaya proteksinya,”ujarnya.

Susrama diadili karena kasus pembunuhan terhadap Prabangsa, 9 tahun lalu, terkait dengan berita-berita dugaan korupsi dan penyelewengan yang melibatkannya oleh Prabangsa di harian Radar Bali.

Hasil penyelidikan polisi, pemeriksaan saksi dan barang bukti di persidangan menunjukkan bahwa Susrama adalah otak di balik pembunuhan itu.

Ia memerintahkan anak buahnya memukuli dan akhirnya menghabisi Prabangsa. Dalam keadaan bernyawa Prabangsa dibawa ke Pantai Goa Lawah, tepatnya di Dusun Blatung, Desa Pesinggahan, Kabupaten Klungkung.

Prabangsa lantas dibawa naik perahu dan dibuang ke laut. Mayatnya ditemukan mengapung oleh awak kapal yang lewat di Teluk Bungsil, Bali, lima hari kemudian.

Susrama sudah dihukum ringan karena jaksa sebenarnya menuntutnya dengan hukuman mati, tapi hakim mengganjarnya dengan hukuman seumur hidup.

Kebijakan presiden yang mengurangi hukuman itu melukai rasa keadilan tidak hanya keluarga korban, tapi jurnalis di Indonesia.

“AJI meminta Presiden Joko Widodo mencabut keputusan presiden pemberian remisi terhadap Susrama. Kami menilai kebijakan semacam ini tidak arif dan memberikan pesan yang kurang bersahabat bagi pers Indonesia,” kata Ketua AJI Palembang Ibrahim Arsyad selaku moderator.