Kitogalo.com, Palembang – Hunian kayu bergaya rumah panggung nomor 234 di Lorong Cek Latah RT 10 Kelurahan 13 Ilir Kecamatan Gandus Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel) tampak seperti rumah warga pada umumnya. Namun siapa sangka, rumah sederhana ini merupakan tempat tinggal generasi terakhir dalang Wayang Palembang.
Kiagus Wirawan Rusdi, atau sering disapa Wira (46), merupakan satu-satunya dalang wayang Palembang yang masih tersisa. Ketertarikannya terhadap tradisi lokal ini, memberikan harapan baru bagi pelestarian Wayang Palembang yang nyaris punah.
Dulunya, dalang Wayang Palembang masih ada di beberapa daerah di Kota Palembang, seperti di kawasan Kepandean, Kelurahan 7 Ulu dan Kelurahan 14 Ulu. Namun seiring waktu, tradisi ini tidak diteruskan ke generasi selanjutnya.
Anak pertama dari sembilan bersaudara ini, merupakan generasi ketiga yang dipercaya meneruskan tradisi Wayang Palembang.
Menurut Wira, sejak ayahnya meninggal dunia pada tahun 2004, dia diwariskan ratusan wayang kulit khas Palembang. Koleksi Wayang Kulit yang dipunyanya, berasal dari berbagai masa.
“Yang paling lawas yaitu wayang Pendito Budi Sedjati dan wayang Arjuno yang berasal dari abad ke-17. Ada juga beberapa wayang yang dihadiahkan oleh Presiden Soeharto, saat ayah saya masih aktif menjadi dalang Wayang Palembang,” katanya kepada Liputan6.com, Jumat (28/6/2019).
Pada tahun 2004, Wira mendapat bantuan dari UNESCO sebanyak 50 unit wayang Palembang dan 6 unit gamelan untuk pagelaran. Bantuan itu diserahkan oleh Kementrian Kebudayaan.
Selain menjadi dalang Wayang Palembang, dia juga meneruskan Sanggar Kesenian Sri Wayang Kulit Palembang, yang sudah ada sejak tahun 1950-an.
Dalam setiap pagelaran Wayang Palembang, dia dibantu 14 orang pemain yaitu 10 orang penabuh gamelan dan 4 orang teknisi. Karena kesibukan masing-masing pemain, biasanya yang bisa ikut pagelaran Wayang Palembang hanya 7-8 orang saja.
“Kami tampil biasanya selama selama dua jam. Ada perbedaan penampilan Wayang Kulit Jawa dan Wayang Kulit Palembang. Salah satunya penabuh gamelan, yang menggunakan pakaian adat Palembang, irama tabuh gamelan yang bercampur irama melayu,” ujarnya.
Ciri khas Wayang Palembang lainnya yaitu, menabuh gamelan dari urutan kiri ke kanan. Ternyata cara menabuh ini juga berasal dari tradisi orang terdahulu, yang lebih bisa membaca tulisan arab dibandingkan bahasa Indonesia. Sehingga kebiasaan membaca huruf arab dari kanan ke kini, juga menular saat memainkan gamelan.
Karakter wayang juga sudah banyak dikoleksinya, mulai dari tokoh Kurawa dan saudaranya sebanyak 99 wayang, Gunungan, Semar, Pendito Budi Sedjati, Arjuno dan lainnya. Wirawan juga sangat hapal nama-nama wayang tersebut.
“Kesulitan melestarikan Wayang Palembang ini terletak pada produksi wayangnya sendiri. Saya harus memesan wayang di Pulau Jawa, seperti Yogyakarta dan Solo,” ucapnya.
Jika pun ada pengrajin asal Pulau Jawa yang tinggal di Kota Palembang, bahan wayang kulit yang berasal dari kulit kerbau, harus dikirim dari Pulau Jawa.
Agar bisa terus melestarikan tradisi ini, Wira tidak mencari pekerjaan lainnya agar bisa fokus saat ada berbagai pagelaran. Namun sayang, minat Wayang Palembang semakin tergerus, terlebih ajakan pertunjukan yang semakin sepi.
Editor : Nefryu